Tiga Kriteria Manusia Terbaik


Manusia merupakan makhluk yang paling mulia yang Allah SWT ciptakan diantara seluruh makhluk lain di dunia ini, demikian Allah SWT tegaskan dalam QS Al-Israa ayat 70; “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Kemuliaan yang Allah berikan disertai dengan segala potensi manusia, baik akal, alat indera, fisik, hati, dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diaktualisasikan selain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya juga sebagai bentuk ekspresi syukur kepada sang Khaliq. Diantara sekian banyak umat manusia, mereka ada yang bersyukur (orang beriman) dan ada yang kufur (musyrik). Orang yang bersyukur inilah yang sesuai dengan harapan Allah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah nyatakan dalam QS.Al-Dzariyat ayat56: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku.”

Menjadi seorang mu’min tentulah harus menjadi seorang yang terbaik di antara mu’min yang lainnya. Predikat ini lah yang Rasulullah SAW harapkan agar menjadi mu’min yang berkualitas. Dalam beberapa haditsnya, Rasul SAW telah memberikan kriteria mu’min yang terbaik . Saking banyaknya kriteria tersebut, sampai ada seorang Ulama yang menulis sebuah kitab berjudul Khairunnas (manusia yang terbaik). Dalam tulisan ini akan dicoba diulas mengenai tiga kriteria manusia terbaik yang didasarkan pada hadits Rasulullah SAW.

Pertama, khairukum man ta’allamal Qur’aan wa ‘Allamahu (orang yang terbaik dii antara kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya (pada orang lain). Mempelajari Alquran adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim karena merupakan sumber utama petunjuk hidup manusia bahkan lebih khususnya lagi orang Islam. Keselamatan hidup di dunia ini tentu akan dirasakan jika manusia itu sendiri berpegang teguh pada petunjuk tersebut sebagaimana telah dijaminkan oleh Rasul SAW.

Seorang ulama bernama Abdullah Darraz mengatakan, “Alquran bagaikan mutiara yang indah berkilau. Dari sudut manapun orang melihat mutiara tersebut, pasti akan mendapatkan pancaran keindahan.” Begitu pun Alquran, siapapun orang yang membacanya pasti akan mendapatkan hidayah darinya, dari mulai orang awam sekalipun sampai tingkat ulama atau intelektual.

Kedua, manyuridillaahu khairan yufaqqihhu fid diin (siapa orang yang Allah kehendaki menjadi orang terbaik, Dia akan memahamkannya dalam urusan agama). Menjadi orang yang faham dalam urusan agama merupakan suatu keharusan bagi umat Islam karena pemahaman terhadap agama akan sangat berpengaruh pada pengamalan ajaran agamanya. Rasulullah SAW sendiri sempat memberikan isyarat betapa urgennya memahami ajaran agama dan Allah SWT pun menegaskan dalam QS Al-Taubah ayat122; “….dan hendaklah segolongan di antara kalian ada orang-orang yang mau mendalami ajaran agama (liyatafaqqohuu fiddiin ) dan memberikan peringatan kaum yang lainnya…”

Mendalami ajaran agama bersifat abadi, tidak mengenal waktu, usia, tempat. Selama hayat masih dikandung badan, selama napas masih berhembus, selama kita masih diberikan kesempatan oleh Allah SWT. Hadits Rasul SAW mengatakan “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi” (carilah ilmu dari mulai dibuai sampai meninggal). Kefahaman seseorang dalam agama akan memberikan cahaya penerang bagi umat yang lainnya. Memberikan bimbingan bagi yang tersesat, memberikan peringatan bagi yang terlalaikan.

Selain alasan di atas, kelangkaan orang yang faqih dalam agama bisa menjadi kekhawatiran bagi umat Islam. Hilangnya seorang pemimpin di pemerintahan atau perusahaan tidak perlu dikhawatirkan karena sudah banyak orang yang siap menggantinya. Berbeda halnya jika seorang ulama meninggal, maka akan sangat sulit mencari siapa penggantinya.

Sebuah adagium bahasa Arab yang menyatakan,” Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu. Tapi jangan menjadi orang yang kelima, maka engkau akan hancur/rusak.”

Ketiga, khairunnaas anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Hal ini menjadi indikator berfungsinya nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Permisalan umum yang sering diungkapkan adalah “hiduplah bagai seekor lebah, jangan seperti lalat.”

Seekor lebah dia hidup selalu dari yang indah/bersih, dia hinggap di tangkai bunga tanpa mematahkannya, dia mengeluarkan sesuatu dzat yang sangat berguna atau menyehatkan yaitu madu. Sedangkan lalat, dia hidup selalu di lingkungan yang kotor, memberikan atau menyebarkan penyakit ke mana-mana.

Kalau kita coba menginstrospeksi diri kita, maka lihatlah keluarga kita, tetangga kita, saudara, kerabat, dan umat secara keseluruhan. Apakah mereka semua merasa senang ketika kita ada atau malah sebaliknya ? Secara filosofis keberadaan kita itu harus berimbas kemaslahatan buat yang lain bukan hanya sekedar diri kita saja.
Dari uraian di atas, kita harus bertekad untuk menjadi manusia yang terbaik (khairunnaas) versi Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal itu akan terasa bahagia dunia dan akhirat, tidak hanya bahagia dunia saja seperti halnya penghargaan antar manusia (award-award) dunia. Kata kuncinya adalah memberi manfaat bagi sesama. Semoga.


Oleh: Ihsan Faisal MAg
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kantor Kemenag Kabupaten Bandung dan Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN SGD Bandung