Seorang raja di negeri Sarkistan memiliki putri bernama Harsani. Keelokannya kesohor ke seantero negeri. Harsani memiliki hidung mancung serudung. Leher jenjang semarang. Rambut ikal mayang terurai. Pipih bak pauh dilayang.
Tidak heran, kalau banyak orang tergila-gila pada gadis molek ini. Tidak terhitung anak raja dari negara tetangga. Lamaranpun banyak berdatangan. Sayangnya, entah karena apa lamaran itu selalu ditolak raja dan permaisuinya.
Suatu ketika puteri semata wayang raja Sarkistan itu menderita sakit. Makin hari tambah parah. Berbagai tabib, termasuk tabib-tabib jempolan dari kerajaan tetangga, didatangkan. Tapi kagak berhasil menyembuhkan penyakit sang putri. Raja yang sudah begitu khawatir terhadap penyakit putri kesayangannya itu akhirnya mengambil keputusan, membuat sayembara, ”Barangsiapa dapat menyembuhkan putri Harsani, bakal menjadi menantu raja dan menjadi pewaris kerajaan Sarkistan.” Karena belum ada suratkabar apalagi televisi, pengumuman itu disebarkan melalui corong di pasar-pasar dan tempat orang banyak ngumpul.
Beberapa anak raja yang dulu ditolak lamarannya, kini melihat peluang baru dan mendaftarkan diri. Sayangnya mereka gagal menyembuhkan sang putri. Achirnya ada seorang tukang kacang memcoba peruntungannya. Dasar nasib baik, ia berhasil menyembuhkan sang putri.
Karuan saja, rakyat Sarkistan geger karena raja punya menantu tukang kacang. Di mana-mana mereka tidak lain ngomongin mantu raja si tukang kacang. Gosip yang meluas itu akhirnya dilaporkan wazir pada sang raja. Raja yang sangat murka langsung membuat pengumuman, ”Yang berani nyebut kacang akan digantung di alun-alun.”
Untuk mengamankan SK-nya, raja menyebar para hulubalangnya ke berbagai pelosok kerajaan, guna mematai-matai dan mendengar siapa yang berani nyebut ‘kacang’. Mereka akan dipenggal kepalanya tanpa diadili. Konon, sejak saat itu tidak ada seorangpun yang berani menyebut ‘kacang’.
Suatu saat diperapatan jalan ada seorang pemuda iseng sengaja menunggu tukang kacang lewat. Pedagang kacang itu lewat dengan lesu dan tidak berani meneriakkan dagangnnya. ”Hei bang, dagang apaan tuh,” tanya si pemuda. ”Gue tau lu mau jebak gue. Lu liat sendiri aje gue dagang ape. Coba kalo berani lu nyebut, kepala lu bisa hilang,” jawab tukang kacang ketus.
Sementara, para hulubalang yang ngumpet di atas pohon dan semak-semak mengikuti percakapan itu dan sudah siap melakukan tindakan. ”Begitu lu nyebut kacang, gue tegreb dan leher lu tanggung hilang,” pikir hulubalang.
Setelah cukup lama kata ‘kacang’ tidak terdengar di Kerajaan Sarkistan, akhirnya raja sendiri yang menyebutnya. Saat memarahi sang menantu, ia ngomel, ”Dasar tukang kacang lu.” Sayang, sang raja kalis dari hukuman meskipun ia sendiri yang melanggarnya.
Di negeri kita kini bukan kepalang banyaknya para pemimpin dan aparat yang melakukan pelanggaran, termasuk koruptor, luput dari hukuman. Termasuk belasan perwira tinggi kepolisian, yang diisukan memiliki kekayaan triliunan perak, tidak diperiksa. Apakah mereka seperti Raja Sarkistan yang kebal hukum?
(Alwi Shahab)
http://bangjabrix.wordpress.com/2007/03/12/sohibul-hikayat-dari-tenabang/