TEGAR MENGHADAPI KESULITAN

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
(QS. Al-Insyirah [94]: 5 – 6)


Liku-liku kehidupan ini memang tidak bisa dikalkulasi dengan hitungan matematis. Negeri yang katanya demikian makmur ini sedang terancam kekurangan sandang, pangan dan papan. Kegoncangan melanda di mana-mana. Musibah datang silih berganti. Kegelisahan menjadi selimut kehidupan yang tidak bisa ditanggalkan. Mengapa kesulitan itu mesti ada? Sebuah pertanyaan yang mungkin kerapkali dilontarkan oleh sebagian orang yang akrab dengannya. Kesulitan, seringkali hadir di hadapan manusia yang tentu tidak pernah menginginkannya, atau bahkan benci dengannya. Kesulitan bak tembok raksasa yang hadir menghimpit dan membatasi ruangnya untuk berkembang dan bergerak menuju sesuatu yang sedang diperjuangkan.

Atas segala sesuatu yang menyenangkan, manusia akan cenderung langsung berebut, tanpa terlebih dahulu berfikir tentang syarat untuk memperoleh kesenangan itu. Jika sudah bicara soal syarat-syarat, rata-rata akan segan untuk menerima, seolah-olah yang diinginkan hanyalah mendapat keuntungan tanpa menemui kesulitan apapun. Sering orang sudah takut mendengar sesuatu yang berbau kesulitan tanpa memperhitungkan apakah ketakutannya itu sudah tepat atau tidak? Ketakutan yang tidak proporsional tidak hanya bisa menghalangi orang untuk memperoleh kebaikan tetapi juga kerap menjadi biang keladi munculnya keburukan-keburukan baru yang muncul.

Jika kita mau berpikir, apabila di dunia ini tidak ada kesulitan, maka niscaya dunia akan terasa hampa dan kosong. Akan banyak orang frustrasi karena tidak ada tantangan yang menghadang dihadapannya. Semua jadi terasa mudah dan nyaman. Maka, variasi kehidupan akan berhenti mengalir, yang ada adalah kejumudan yang membawa petaka bagi manusia. Dari kesulitan itupun lahir sekian lapis manusia dengan julukannya, karena kesulitan mampu memilah manusia sesuai dengan kemampuannya dalam menaklukkan dirinya.

Manusia didesain oleh Allah untuk mampu berjuang menghadapi kesulitan. Banyak hal yang sebenarnya harus kita pahami dari kesulitan, memahami posisi kesulitan dalam kacamata yang benar, insya Allah akan meringankan kita dalam menyikapi kesulitan itu. Bagaimana menyikapi kesulitan itu? “Barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi apa yang dia inginkan.” demikian kata Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Ahkamul Qur’an, 8/106.

Ada empat sikap yang harus kita bangun dalam menyikapi pergulatan hidup yang penuh dengan kesulitan.

Pertama, kita harus menyadari bahwa realita hidup yang kita jalani adalah pergulatan menghadapi kesulitan. Siapapun orangnya, di manapun dan dalam keadaan bagaimanapun, selama kita hidup pasti akan bertemu dengan berbagai macam kesulitan. Sebagian ada yang berhasil dan ada yang gagal melewatinya. Proses perjuangan untuk menaklukkkan kesulitan-kesulitan inilah yang kemudian disebut dengan hidup. Membenci kesulitan sama saja dengan membenci kehidupan itu sendiri.

Kedua, kita harus menyadari bahwa kesulitan adalah milik semua orang, semua orang pasti akan menemui kesulitan dalam kehidupannya, semua orang akan mendapatkan jatah/ agenda kesulitannya sendiri-sendiri. Hanya bentuk dan kadarnya saja yang berbeda-beda. Masing-masing kita mempunyai kelebihan dan kekurangan yang menjadi bukti bahwa hidup yang kita jalani berada di atas prinsip yang adil. Kita tidak perlu iri dengan kemudahan yang didapat oleh orang lain, apalagi harus berbangga diri dengan kesusahan yang menimpa orang lain.

Kesulitan adalah sunnatullah, hukum yang telah Allah tetapkan. Mau tidak mau, suka atau tidak, manusia pasti akan berhadapan dengan kesulitan, sebab ini semua telah Allah tetapkan sebagai bagian dari lika-liku kehidupan manusia.

Allah berfirman dalam Alqur’an: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]: 155). Kesulitan adalah untuk menguji kesabaran manusia. Terlalu bodoh jika dalam hidup ini kita memimpikan keadaan yang seutuhnya serba enak dan mapan. Namun, bukan berarti kita tidak boleh berusaha untuk hidup bahagia, kita hanya diingatkan bahwa bahagia yang diimpikan itu tidak utuh, di sisi bahagia itu ada duka, bahkan tetesan air mata kesedihan. Selain itu, Allah juga menyadarkan bahwa sesudah kehidupan di dunia ini masih ada kehidupan di alam yang berbeda.

Allah berfirman: Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (QS. al-A’laa [87]: 16 – 17).

Allah berfirman: Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) (QS. Adh-Dhuhaa [93]: 4).

Ketiga,
kita juga harus mampu menyadari bahwa kadar kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kesanggupan untuk memikul kesulitan itu. Allah tidak berbuat dzalim dengan memberi kesulitan di luar batas kemapuan seorang hamba untuk memikulnya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah [20] ayat 286: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

Ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Allah telah berkenan memberi kesulitan yang banyak mengandung hikmah dan kebaikan, selain bahwa semua kesulitan iitu tidak pernah melampaui batas kekuatan manusia.

Keempat, kita harus belajar bahwa dalam setiap kesulitan ada karunia kemudahan, Islam mengajarkan, bahwa letak kemudahan itu ada di balik kesulitan, karena sesunggunya bersama kesulitan ada kemdahan. Allah berfirman dalam surat al-Insyirah [94] ayat 5 – 6: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Dari kesulitan-lah kita akan mampu mengenal siapa diri kita. Ia akan memberikan gambaran yang jelas tentang siapa diri kita sebenarnya. Karena ia adalah cermin yang mampu memberikan gambaran utuh tentang kepribadian dan karakter kita. Kesulitan sudah menjadi bayangan yang akan terus melekat kepada manusia yang hidup di dunia ini. Ia tidak akan dapat disingkirkan dalam perjalanan manusia. Kesulitan diciptakan oleh Allah untuk mengetahui siapa-siapa dari hambaNya yang bersyukur dan juga menjelaskan siapa saja dari hambaNya yang kufur. Kesulitan juga menjadikan sarana bagi manusia untuk dekat kepada Tuhannya. Tatkala semua usaha manusia tidak mampu mengatasi, maka semua secara alami manusia akan menyebut Tuhannya agar diturunkan pertolongan. Itulah hikmah di balik kesulitan. Maka janganlah kita membenci kesulitan, karena terkadang melalui kehadirannya kita menjadi dekat kepada Pencipta kita, melaluinya kita menjadi manusia yang bersyukur.

Inilah realita hidup manusia. Kesulitan jika dipahami dengan bijaksana akan menumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa kesulitan adalah bagian dari lembaran hidup yang sepanjang hayat akan digeluti. Jika demikian, maka tidak akan ada lagi perasaan gentar untuk menghadapinya.

Wallahu a’lam bish-Shawwab..

Putut Sutarwan
Mahasiswa MSI UII
http://alrasikh.wordpress.com/2007/06/21/tegar-menghadapi-kesulitan/