Hidup Tak Mulia, Mati Tak Syahid


DALAM suatu hadis Kudsi dika­takan, “barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga.” Ke­cukupan yang dimaksud bukan hanya kecukupan material, tetapi juga ke­cukupan mental. Pada kenyataannya, per­sepsi tentang kecukupan bersifat subjektif, karena itu sangat ditentukan oleh kondisi mental-kejiwaan seseorang.

Kemiskinan material memang bisa men­dekatkan seseorang pada kekufuran, tetapi kemiskinan mental lebih gawat dari itu: kehinaan di dunia dan akhirat. Da­lam kemiskinan mental, orang tak bisa melihat sisi positif pengalaman hi­dupnya. Siapa yang tak bisa berdamai de­ngan masa lalunya tak bisa melihat ke­baikan hari ini. Siapa yang tidak bisa melihat kebaikan hari ini, tak bisa me­lihat harapan kebahagiaan pada kehidupan mendatang di dunia. Siapa yang tak bisa melihat kebahagiaan hidup di dunia, berharap segera memperoleh ke­bahagiaan di akhirat dengan cepat-ce­pat mengakhiri hidupnya.

Orang-orang miskin mental memang be­rani mati, tetapi tak berani hidup. Pa­dahal, tidak ada jalan pintas menuju sur­ga. Janji-janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, kesabaran berjuang mengatasi tantangan dan ma­salah zaman, dalam rangka membe­rikan kebahagiaan hidup warga bumi.

Dalam kemiskinan mental, orang ju­ga tak bisa hidup dalam perbedaan. Per­bedaan selalu dipandang dengan ke­curigaan dan permusuhan. Dalam ke­sempitan mental, tak bisa muncul ke­besaran jiwa.

Berbeda dengan langit, yang dalam keluasannya mampu memberikan ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya, Orang yang sempit jiwanya, tak bisa menerima kehadiran yang lain. Perbedaan harus dihabisi dengan pengucilan dan penyerangan.

Dalam aksi-aksi terorisme, kebencian pada perbedaan dan jalan pintas menuju surga menyatu dalam aksi bom bunuh diri. Pekik yang dikumandangkan, “Hidup mulia atau mati syahid”. Na­mun kenyataannya, “Hidup tak mulia, mati pun tak syahid”. Ke­­bencian pada hidup membuat hidupnya di dunia tak bisa mulia. Sia­pa yang tak bisa hidup mu­lia di du­nia tidak mengem­bangkan ke­syahidan (kesungguhan) menjelang kematian -dengan keberanian mengolah kehidupan- melainkan mengembangkan kepengecutan dengan bunuh diri dan mem­bunuh orang. Orang yang ma­ti syahid me­wariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut mewariskan ke­sengsaraan dan keburukan pada kehidupan.

Dengan demikian, terorisme bukanlah sebab, melainkan korban dari kemiskinan (material dan mental). Seperti diutarakan da­lam ‘Pesan Ramadan Vatikan, “Kemiskinan telah menodai dan merendahkan martabat manusia/kemanusiaan dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.” Usaha pemberantasannya ti­dak cukup dengan mengem­bang­kan kekerasan dan pembunuhan serupa, melainkan perlu mengata­si akar permasalahannya.

Terorisme muncul akibat ter­gang­gunya basis-basis keadilan dan dunia kehidupan. Keadilan hu­kum terganggu ketika rule of law tidak berjalan. Jika warga ne­gara gagal memperoleh perlin­dungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlin­dungan dari sumber-sumber yang lain; bisa dalam bentuk premanis­me, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme.

Ketidakadilan ekonomi me­nyulut kesempitan jiwa (fanatisis­me). Fanatisisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Ketimpangan ini sebagian merupakan warisan aneka diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim oto­riter pascakolonial. Tetapi, sum­ber ketimpangan sosial-ekonomi baru yang tidak kalah penting adalah konsekuensi globalisasi dan neoliberalisme.

Globalisasi dan perluasan eko­nomi pasar tidak selalu membe­rikan kabar gembira. Bagi keba­nyakan masyarakat terbelakang, ke­duanya lebih sering membawa bencana. Globalisasi adalah anak kandung modernitas, sedangkan mo­dernitas adalah kelanjutan proyek pencerahan yang belum se­lesai. Proyek pencerahan ini mengandaikan kepercayaan kepada prinsip-prinsip universal, ka­rena prinsip-prinsip tersebut da­pat berlaku dalam situasi lintas sejarah dan budaya dengan se­gala keunikannya. Prinsip yang bertumpu atas dasar univer­salitas ini sering tidak mewadahi semua keinginan dan harapan warga dunia sehingga acapkali me­lahirkan kekerasan.

Kekerasan merupakan respons balik sebagian kalangan terha­dap upaya globalisasi seluruh tat­anan; politik, sosial, ekonomi, bu­daya, bahkan agama. Di satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan terpenuhinya segala kebutuhan manusia serta membuka peluang bagi kompetisi global. Di sisi lain, globalisasi men­ciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.

Globalisasi, menurut Habermas, merupakan keniscayaan se­jarah, tetapi juga telah mengin­jeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam prak­tiknya sering melahirkan dis­torsi komunikatif. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bah­kan memanifestasi dalam tin­dakan teror yang ditimbulkan oleh distorsi komunikasi. Globa­lisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pe­menang dan pecundang.

Terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika meres­pons modernitas. Fundamentalis­me adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebens­welt), yang telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisio­nal mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya dan identitas membuat war­ga masyarakat mengalami kete­r­­asingan dari komunitasnya. De­ngan demikian, fundamentalisme bukanlah sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.

Berbeda dengan Huntington yang melihat akar tunjang terorisme pada bentrok antar peradaban (baca: agama), Habermas menjangkarkannya pada ketimpangan ekonomi-pasar, meskipun punya implikasi keagamaan. Menurutnya, ekonomi pasar menyuburkan konsumerisme, yang melahirkan ledakan di tengah lapisan penduduk dunia yang merasa paling dirugikan berupa reaksi spiritual sebagai alternatif mengatasi masalah global. Reaksi ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.

Singkat kata, betapapun kita membenci terorisme, kemunculannya harus menjadi bahan kritik bagi seluruh warga bumi untuk mengembangkan kehidup­an glo­bal yang lebih adil dan beradab.

Oleh Dr Yudi Latif, kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia)

Sumber: Jawapos, 30 September 2009