Menahan Diri, Menghidupkan Hati

Merenungkan makna dan relevansinya PUASA, selain masalah ketaatan atau kepatuhan.

Dalam perjalanan hidup yang cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat kita memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia.

Kita sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang kita telaah, selalu kita temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.

Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak kita, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”

Kita jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.

Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, superhero pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.

Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.

Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.

Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri kita, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya.

Bagi kita, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, kita merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, kita menemukan hidup yang sebenarnya, dan kita berharap untuk bertemu Anda di sana.

Inner Life of Reza Gunawan
Published, EVE Magazine, September 2007.