Usaha Mengajarkan Ilmu
Di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, selain perintah mencari ilmu, terdapat pula perintah untuk menyebarluaskannya melalui proses pengajaran. Pada Al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 125, Allah SWT berfirman : " Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Setiap orang yang diterangkan oleh Allah SWT dengan ilmu, selayaknya ia memberikan hikmah dari ilmu yang didapatnya kepada orang lain, baik secara lisan atau lebih utama lagi dengan contoh perbuatan. Lewat berbagai ruang pembelajaran seperti diskusi, penulisan, ataupun ceramah, seorang alim wajib mengemukakan pengetahuan-pengetahuan yang ia ketahui. Dengan niat yang ikhlas dan kemampuan mengamalkan ilmu tersebut, perkataan seorang alim akan sampai ke hati para pendengar ataupun kawan diskusinya. Untuk itu, seorang alim harus memiliki sikap sabar dan memilih cara yang tepat agar apa yang disampaikannya dapat disimak dan dipahami oleh orang lain.
Sahabat Ikrimah ra berkata, bahwasanya sahabat Ibnu Abbas ra telah berpesan :
" Nasehatilah umat manusia sekali saja di dalam jum'ah. Apabila menentang, maka dua kali. Bila kamu menghendaki lebih banyak lagi, maka tiga kali saja. Janganlah kamu membuat kebosanan kepada manusia dengan Al-Qur'an ini, dan janganlah kamu datang memberi nasehat pada sekelompok orang yang sedang berbicara, hingga memutus pembicaraan dan ketenangan mereka. Sebab yang demikian dapat mendatangkan kebosanan. Sebaiknya kamu mendengarkan lebih dahulu pembicaraan mereka, baru setelah dipersilahkan maka sampaikanlah nasehat kepada mereka. Sebab dengan mempersilahkan, berarti mereka telah mengharapkan nasehat-nasehatmu. " (H.R. Bukhari).
Menurut hadits tersebut, usaha menasehati atau menyebarluaskan ilmu secara lisan, tidak identik dengan sikap dominasi ataupun menggurui. Ada two way communication yang berlaku disitu. Selain itu, setelah menyampaikan pengetahuannya, seorang alim selayaknya membebaskan siapa saja yang menyimak untuk memilih sikap, bahkan mengkritisi apa yang disampaikannya.
Dalam mengajarkan ilmu, seorang alimpun wajib mendahulukan aktivitas mendengar daripada berbicara. Seorang alim akan mampu memilah kata-kata yang akan disampaikan, sebab ia memiliki pengetahuan atas sifat dan keilmuan orang-orang dalam wadah pembelajaran, melalui perhatian intensif pada saat ia mendengarkan orang-orang itu berbicara sebelumnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan ucap dan fitnah. Sahabat Ibnu Mas'ud berkata : "Apabila kamu menasihati suatu kaum dengan pembicaraan yang tak mampu diterima akal dan pemikiran mereka, maka perkataanmu malah menjadi fitnah bagi sebagian mereka."
Keterampilan bersabar, keterampilan mendengar, serta keterampilan berbicara adalah titik-titik strategis yang mesti dikuasai oleh seseorang ketika ia akan memberikan pengajaran pada orang lain. Tanpa penguasaan terhadap tiga masalah itu, ilmu yang disampaikan seorang alim malah akan menimbulkan masalah baru bagi pembaca, pendengar, maupun pengamal ilmu tersebut.
http://www.fiqhislam.com/index.php/agenda-muslim/artikel-islami/11400-usaha-mengajarkan-ilmu