MENEMPUH JALAN SEJATI
Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS. Al-Faatihah [1]:6).
Banyak sekali perdebatan tentang bagaimana menerjemahkan ayat di atas secara tepat. Yang berkembang dan sampai kepada kita hingga saat ini adalah terjemahan versi Departemen Agama (Depag) RI sebagaimana saya kutip di atas. Entah bagaimana asal mulanya, kata shirath al mustaqiim diterjemahkan sebagai jalan yang lurus. Padahal, menurut struktur kata-nya, lafadz mustaqiim merupakan isim fa’il dari kata istaqooma-yastaqiimu, sehingga ia (seharusnya) berarti orang yang istiqomah. Sedangkan kata istiqomah sendiri seringkali diterjemahkan sebagai pendirian yang teguh.
Akan tetapi, dalam konteks ayat di atas, saya lebih senang men”ciri”kan kata mustaqiim sebagaimana kalimat lanjutan dari ayat di atas, yakni ”Orang-orang yang Engkau beri nikmat atasnya, dan bukan orang-orang yang Engkau laknati.” Frase orang-orang yang diberi nikmat memang tidak tepat untuk menjelaskan secara langsung makna al mustaqiim, karena bisa jadi nikmat yang diberikan dan laknat yang dijauhkan adalah implikasi atau akibat dari munculnya perilaku istiqomah yang ada pada orang-orang yang dimaksudkan ayat di atas.
Maka, disinilah sebenarnya kita dituntut untuk membangun satu rumusan yang tepat tentang kategori mustaqiim di atas. Benarkah ia jalan yang lurus begitu saja? Padahal kalau kita berjalan lurus terus, lama-lama bisa nabrak dan kepala kita bisa benjol. Karena kenyataannya jalan kehidupan di dunia itu tidak lurus, sehingga memerlukan ”manuver-manuver” tertentu untuk mampu melewatinya dengan selamat. Ya kalau jalannya zig-zag, maka kita ikut zig-zag juga. Kalau jalannya penuh semak berduri, ya bagaimana caranya agar durinya tidak melukai atau merobek kulit kita. Maka, disini lurus saja tidak cukup.
Selanjutnya kita menengok pemaknaan yang kedua, jalan orang yang istiqomah. Terjemahan tersebut bisa jadi lebih cocok dibandingkan yang pertama. Hanya saja kita tetap dituntut untuk berpikir guna merumuskan seperti apa sejatinya orang yang istiqomah alias teguh pendirian tersebut? Apakah teguh pendirian yang dimaksud disini adalah sifat yang bersenjatakan kata ”pokoknya”? Pokoknya saya benar; pokoknya kamu salah; pokoknya yang tepat begini dan selain begini adalah tidak tepat alias salah? Apakah orang yang teguh pendirian adalah orang yang merasa bahwa dirinya pasti benar dan orang lain pasti salah serta tidak mau menerima bahkan mendengar kata-kata orang lain yang bisa jadi lebih rasional dan mendekati kebenaran? Tentu saja tidak.
Derajat mulia bernama mustaqiim tersebut adalah satu posisi yang bernilai positif dan senantiasa melakukan upaya pendekatan dengan yang namanya kebenaran. Potensi mustaqiim adalah muatan pertimbangan matang yang mampu menyelaraskan berbagai potensi, kesempatan, ancaman dan kelemahan sehingga bisa ditentukan posisi yang paling tepat dalam konstelasi kehidupan. Orang yang mustaqiim tidak hanya mempertimbangkan tetapi juga mengamalkan hasil pertimbangannya tersebut dalam menjalani kehidupan.
Sebagai contoh, saya akan mengajak anda untuk mendiskusikan surat An-Nisaa’ [4] ayat 59:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-NYa, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat di atas, selain seruan untuk mengikuti Allah, Rasul dan Ulil Amri, juga menyiratkan satu proses pencarian posisi yang paling mendekati kebenaran mutlak, yakni Allah sendiri. Content ayat di atas dimulai dengan perintah ketaatan kepada Allah, kemudian ketaatan kepada Rasul, kemudian Ulul Amri (pemerintah). Peniadaan kata athii’uu yang dilekatkan pada obyek ulul amri banyak ditafsirkan sebagai perlunya standar bandingan atas kebijakan pemerintah, yakni jika ia bertentangan dengan ketentuan yang pertama dan kedua (Allah dan Rasul), maka tidak diwajibkan bagi orang-orang beriman untuk taat. Akan tetapi jika tidak menyimpang dari kedua ketentuan yang disebutkan sebelumnya, maka wajib untuk taat.
Kondisi kedua yang digambarkan oleh ayat di atas adalah satu situasi yang seringkali dihadapi oleh manusia dalam memutuskan sesuatu, yakni perbedaan. Perbedaan dalam beropini tentang satu hal merupakan sesuatu yang wajar dalam kehidupan sosial. Hal ini akan menjadi sesuatu yang pelik ketika obyek yang diperdebatkan menyangkut kepentingan masyarakat luas, atau bahkan kelompok-kelompok tertentu. Kondisi inilah yang digambarkan oleh lafadz ayat yang berbunyi fain tanaaza’tum fii syaiin (”maka jika kalian berselisih pendapat”).
Solusi yang ditawarkan oleh ayat di atas adalah dengan fa rudduuhu ila Allahi wa Rasuulihi, yakni mengembalikan persoalan tersebut kepada Allah dan Rasulnya. Tafsir yang banyak berkembang di antara kita saat ini adalah bahwa yang dimaksud dengan lafadz ”Allah” dalam ayat tersebut adalah merujukkan permasalahan kepada Alqur’an dan yang dimaksud dengan kata ”Rasuulihi” adalah merujukkan masalah pada sunnah atau hadits Rasulullah. Dengan perenungan yang mendalam, ternyata tafsir tersebut belum menyelesaikan masalah. Mengapa? Karena penafsiran kata ”Allah” dengan merujukkan pada Alqur’an bisa jadi sama artinya dengan merujukkan permasalahan yang dihadapi oleh umat pada tafsir atas Alqur’an. Dan lagi-lagi, watak tafsir sebagai produk pergulatan pemikiran manusia adalah banyak sekali mengandung perbedaan.
Ketika obyek bernama masalah yang dihadapi oleh dua kelompok dirujukkan pada tafsir lagi, maka bisa jadi yang muncul kemudian adalah perbedaan-perbedaan sebagaimana terjadi sebelumnya. Hal ini dikarenakan dua kelompok tersebut menganut aliran mereka masing-masing dalam tafsir. Kelompok satu menganut tafsirnya ulama A dalam membahas permasalahan yang diperdebatkan, sementara kelompok kedua menganut tafsir ulama B tentang masalah yang sama dan kesimpulan yang ditarik oleh ulama B berbeda dengan kesimpulan ulama A.
Bisa jadi obyek kajian sama namun metode berbeda. Maka hasilnya pun berbeda. Atau bahkan obyek sama, metode sama, tetapi nalar subyektifnya berbeda, maka hasilnya-pun akan berbeda. Wal hasil, perdebatan antar dua kelompok pun tak terselesaikan. Maka farudduuhu Ilaa Allahi Wa Rasuulihi menurut ”tafsir” saya adalah bangunan kedekatan batin dengan Allah dan Rasul yang harus ditumbuhkan oleh kelompok yang mengalami perselisihan tentang satu masalah tersebut. Ketika kajian rasional atas suatu permasalahan tidak dapat mengatasi kebingungan dalam mengambil suatu keputusan, maka yang bisa dilakukan manusia sebagai makhluk yang lemah tanpa daya dihadapan-Nya adalah dengan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sampai tanpa batas sama sekali.
Merujukkan suatu permasalahan kepada Allah dan Rasulnya adalah ketika nalar kita telah buntu dan kita tidak menemukan jawaban atas suatu masalah, maka yang kita lakukan kemudian memasrahkan batin kita kepada-Nya dan menumpahkan cinta kita kepada Rasul-Nya. Disinilah dzikir batin, istighfar hati, dan sholawat jiwa kita diperlukan. Tujuannya adalah menumbuhkan siklus cinta segitiga antara kita, Allah dan Rasulullah sehingga setiap langkah yang kita ambil dalam memutuskan satu perkara senantiasa berada di titian jalan-Nya, yakni jalan yang mustaqiim, jalan orang-orang yang berlimpah nikmat.
Jalan sejati; Jalan yang Tak Mudah Dilewati
Shirat al mustaqiim, yang ketika kecil dulu, barangkali kita melihatnya sebagai sebuah titian dengan lebar selebar rambut yang dibelah jadi tujuh, bisa jadi secara simbolik benar adanya. Siapa yang mampu melintasi titian tersebut sampai ke seberang adalah mereka yang selamat dan memperoleh nikmat Tuhannya. Siapa yang terjatuh di tegah titian tersebut adalah mereka yang celaka dan terbakar oleh api neraka.
Simbol tersebut secara tersirat menjelaskan betapa berat meniti jalan yang istiqomah tersebut. Nalar sehat kita jelas akan membenarkan asumsi ini. Bagaimana tidak? Ketika kita teguh untuk menjauhi segala bentuk hedonisme jaman, yang muncul adalah cemoohan dan lontaran yang menganggap kita sok alim, sok suci, dan lain sebaginya. Ketika kita melewatkan kesempatan untuk mencicip secuil harta yang bukan hak kita, maka kita seolah tersesak-sesak oleh nilai sosial yang bubrah itu, seolah-olah kita melewatkan satu sensasi kenikmatan, melakukan korupsi kecil-kecilan.
Maka, benarlah jika dikatakan bahwa mereka yang beruntung adalah mereka yang asing dengan segala ingar-bingar runtuhnya nilai-nilai keTuhanan di dunia. Mereka yang beruntung (thuuba) adalah mereka yang sengaja menyisihkan diri untuk tidak berebut bangkai dunia yang makin lama makin membusuk. Maka, merekalah orang-orang mustaqiim, yang atasnya Allah menjanjikan kenikmatan dan menjauhkan dari segala laknat. Shirath al-ladziina an’amta ’alaihim . Ghairi al maghdhuubi ’alaihim wa laa al- dloolliin…
Wallahu a’lam.
Susilo Wibisono
http://alrasikh.wordpress.com/2007/06/07/menempuh-jalan-sejati/