I. Primordialisme
Primordialisme adalah suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Secara etimologis, primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial.
Manfaat :
Sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya, sehingga budaya tersebut dapat dipertahankan secara asli (tidak dipengaruhi budaya lain) agar nantinya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Mudharat :
Sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
II. Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah "tercemar". Biasanya hal ini didasarkan pada tafsir atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci atau buku pedoman lainnya. Sedangakan menurut Frans Magnis-Suseno (2002), memahami fundamentalisme sebagai sebuah pandangan teologis atau penghayatan keagamaan di mana seseorang mendasarkan seluruh pandangan-pandangan dunianya, nilai-nilai hidupnya, pada ajaran eksplisit agamanya, hal mana kalau ajaran itu termuat dalam kitab suci dekat dengan skripturalisme.
Manfaat :
Seorang fundamentalis dapat memegang kuat teologi dan penghayatan agamanya yang ia anut dan yakini dengan rill dan konsekuen sehingga terkesan mempunyai ideologi religius yang kuat. Orang-orang fundamentalis sangat patuh terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya, sehingga secara sadar ia akan menjalankan perintah dan menjauhi segala macam larangan dari agama yang ia pegang teguh.
Mudharat :
Kelompok fundamentalis tidak berhenti pada penghayatan teologi skripturalistiknya semata, melainkan terus berlanjut pada sikap militan dalam beragama. Kita tahu bahwa militansi keberagamaan meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus; positif dan negatif. Ke dalam, seorang militan akan bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman seperjuangan yang harus dibela. Sementara, ke luar, ia akan bersikap negatif dengan memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang. Dengan langgam seperti itu, maka perbedaan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan dan harmoni, di pangkuan kaum fundamentalis-militan ini berubah menjadi disharmoni.
Kedua sikap diatas (Primordialisme dan Fundamentalisme) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun hendaknya dalam konteks nasionalime Indonesia kita hendaknya dapat secara selektif mencerna pemahaman kedua sikap tesebut secara objektif, sehingga tidak menimbulkan diintegrasi dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang paling terpenting dan sangat essensial sekali ditumbuhkannya sikap nasonalisme Indonesia, dibandingkan dengan mengutamakan ego masing-masing suatu masyarakat atau kelompok tertentu.
Di tengah terpuruknya keadaan bangsa sekarang ini, sangat rawan sekali masyarakat terpancing oleh selintingan hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang menginginkan antara masyarakat ataupun suku-suku di Indonesia saling bertikai dan terpecah belah satu sama lain. Secara tidak langsung keadaan yang timbul seperti itu mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap tanah air atau nsionalisme yang telah terbangun sejak lama.
Untuk menciptakan rasa nasionalisme yang kuat tersebut diperlukan kesadaran dan kemauan yang tinggi dari masyarakat di seluruh Indonesia, dan hendaknya membuang jauh-jauh simbol-simbol perbedaan yang ada, baik agama, suku bangsa, warna kulit, maupun budaya yang telah melekat pada setiap individunya. Rasa nasionalisme sendiri akan tumbuh dengan sendirinya apabila semua elemen dan komponen di masyarakat dapat memaknai secara arif dan bijak setiap perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan-perbedaan yang tersebut bukanlah menjadi penghalang maupun penghambat di dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, melainkan menjadi kekuatan besar yang dapat mempersatukan antara satu dengan yang lainnya.
Dengan adanya rasa nasionalisme yang kuat di dalam suatu negara, maka akan menciptakan suatu stabilitas yang menunjang pembangunan nasional yang digalakkan pemerintahnya dan masyarakat dapat aktif berpartisipasi dalam mengisi pembangunan nasional tersebut
http://rizkyadha.blogspot.com/2008/09/antara-primordialisme-dan.html
*****************************************
Catatan tentang Primodialisme
Nampaknya kata primordialisme perlu dikaji ulang melalui lensa objektifnya. Kata primus yang berarti pertama dan ordiri yang berarti ikatan yang akhirnya melahirkan kata primordialisme dengan pengertian kurang lebih satu paradigma yang selalu mengedepankan segala hal yang dibawa sejak kecil baik tradisi, adat, nilai-nilai, dan lain sebagainya nampaknya harus kita dekonsturksi ulang agar mendapat teori yang lebih objektif mengenai kehidupan sosial bangsa ini. Kalau definisi di atas lahir pada zaman nenek moyang kita saat lingkungan masih bersifat mono-kultural dan kedaerahan, di mana semangat persatuan begitu dibutuhkan dalam menghadapi penjajah secara fisik, maka apakah definisi tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa yang sudah plural dan mengandung budaya yang begitu kompleks? Yang sekarang dihadapi suku Jawa bukan lagi budaya Maluku atau Papua, akan tetapi budaya asing seperti budaya kapitalis yang menciptakan dinding-dinding sosial, yang mengokohkan strata-strata sosial, yang membuat orang-orang dalam dinding atas mabuk dalam gemerlap posmodernisme dan lupa akan kondisi sosialnya, sementara orang-orang di bawahnya terbatasi oleh dinding-dinding proletar yang diciptakan kaum kapitalis tersebut. Untuk menghadapi kondisi kultural seperti ini, maka perlu adanya paradigma yang lebih kondusif dalam mengartikan apa itu primus ordiri, apa itu ikatan pertamanya.
Dewasa ini masalah kebudayaan perlu dipandang dari lensa moralitas. Peralihan waktu menuju periode modern adalah satu tantangan nyata bagi bangsa ini. Masuknya unsur-unsur kebudayaan asing yang begitu kental dengan aura posmodernisme haruslah kita tanggapi dengan paradigma yang lebih holistik. Ideologi posmodernisme, form follows fun dengan kilau pesonanya menggiring bangsa ini pada satu ruang baru kebudayaan yang begitu absurd, pada kemabukan ekstasi. Kitapun semakin lupa pada budaya, tradisi, adat istiadat, norma, dan nilai tinggi yang kita miliki. Kalaulah tidak ada satu ikatan yang kuat pada kebudayaan masing-masing suku bangsa atau primordialisme, maka bagaimanakah eksistensi budaya nenek moyang yang berharga ini beberapa dekade ke depan?
Salah satu faktor yang menyebabkan dihindarinya primordialisme adalah etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan satu paradigma inferioritas terhadap budaya lain yang dikenal timbul sebagai implikasi logis dari primordialisme. Akan tetapi kita harus mengkaji terlebih dahulu, apakah sama antara menjunjung tinggi kebudayaan sendiri dengan menganggap rendah budaya orang lain? Apakah ketika kita menjunjung budaya sendiri lantas harus mendiskreditkan budaya lain? Bisakah kita berpengan mati-matian pada budaya sendiri tanpa memandang budaya lain melalui lensa etnosentrisme? Lantas, apa yang menyebabkan keterkaitan antara primordialisme dan etnosentrisme? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada dua solusi yang penulis tawarkan: 1).
Etnosentrisme timbul karena dalam kebudayaan suatu daerah terdapat ajaran untuk memandang rendah budaya lain; 2). Ada unsur lain yang menggiring subjek-subjek dalam suatu budaya untuk memandang rendah budaya lain dengan maksud tertentu yang unsur tersebut berkontaminasi dengannya sedemikian rupa sehingga dianggap menjadi bagian dari budaya itu sendiri.
Untuk solusi pertama, hal ini banyak terjadi pada kaum agamis konservatif yang umumnya disebabkan oleh pemahaman parsial mengenai ajaran agama yang dianutnya. Tak sedikit penganut suatu agama menghafal dalil-dalil dan menyuarakan ajaran-ajaran yang berisi kebenaran dan kesucian agamanya sementara ayat-ayat toleransi antar agama yang juga tertuang dalanm kitab suci kerap kali diabaikan bahkan seakan tidak pernah ada. Akibatnya, eksistensi suatu agama tertentu dianggap sebagai satu entitas yang mutlaq harus tegak sebagai satu-satunya jalan kebenaran, sedangkan agama yang lainnya hanya dilirik sebagai jalan sesat yang mutlaq harus dihilangkan.
Sedang untuk solusi ke dua, di sinilah akar etnosentrisme banyak bermunculan. Seringkali pemahaman terhadap suatu budaya terkontaminasi sedemikian rupa oleh unsur eksternal sehingga unsur yang masuk tersebut seakan mutlaq merupakan bagian dari budaya itu. Hal ini tak jarang terjadi untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelomopok tertentu. Dalam dunia politik misalnya, tidak sedikit subjek yang menyalah gunakan kelompok masyarakat dan budaya tertentu sebagai tunggangannya dalam mencapai cita-cita politik. Subjek A, dengan propagandanya menggunakan kelompok masyarakat A, sedang di sisi lain subjek B juga menggunakan kelompok masyarakat B dalam kompetisi politiknya. Dengan kelihaian berpolitik, secara begitu halus terjadi diskredit terhadap subjek B yang berasal dari kelompok masyarakat B oleh subjek A. Begitupun sebaliknya. Diskredit inipun menjalar pada paradigma kelompok masyarakat untuk memandang kelompok lain yang terdiskreditkan dalam pertempuran politik secara negatif pula. Akhirnya kompetisi politik beralih kepada pergulatan kelompok sosial. Selain mendistorsi esensi perpolitikan, di mana masyarakat sudah tidak lagi memandang subjek politik dari segi kapabilitas dan akuntabilitas, akan tetapi dari segi kelompok etnis, budaya, dan organisasi kemasyarakatan, hal ini juga berpotensi besar dalam menimbulkan disintegrasi bangsa. Untuk meminimalisir hal tersebut, maka dibutuhkan kesadaran berpolitik yang profesional baik dari subjek politik atau masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, kita harus memandang primordialisme secara holistik. Anggapan tentang etnosentrisme sebagai implikasi logis dari primordialisme nampaknya perlu kita fikirkan kembali, karena ternyata masih terdapat faktor eksternal yang bercampur dengan unsur murni suatu kebudayaan dan kerap kali kita lupakan.
Sementara kita lupa akan faktor-faktor tersebut, kita juga semakin lupa akan budaya dan bangsa kita. Kita semakin terhisap pada gemerlap budaya asing karena tak ada ikatan yang kuat pada tiang-tiang kebudayaan kita sendiri. Lantas kitapun mulai mendiskreditkan budaya-budaya bangsa ini dan mengagungkan budaya asing. Maka apakah persatuan bangsa akan benar-benar terwujud?
http://iiqpirzada.blogspot.com/2008/01/memandang-primordialisme-secara.html