Doa Taubat
Tidak ada makhluk yang bernama manusia yang belum pernah berbuat salah. Tapi orang yang berbuat salah bisa berubah menjadi orang yang baik-baik. sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya:
"Setiap bani Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang mau bertaubat."
(HR: Ahmad, At-Tirmidzy dan yang lain, sanadnya hasan).
Jadi kita bisa mengambil petunjuk bahwa syarat untuk menjadi orang yang baik setelah berbuat salah ini tidak lain adalah dengan bertaubat.
Secara kasar, definisi taubat adalah kembalinya seorang hamba dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah‘Azza wa Jalla. Sebagaimana amalan-amalan yang lain, maka taubat yang juga merupakan suatu amalan mempunyai syarat-syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka taubatnya tidak sah. Adapun syarat-syarat sahnya taubat adalah bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa, melepaskan diri dari dosa seketika itu juga, menyesali apa yang dilakukannya di masa lampau, jika berkaitan dengan hak seseorang, maka ditambah satu lagi, yaitu dengan minta dimaafkan. Tentang syarat keempat ini, Imam An-Nawawy dalam kitab Riyadhush-Shaalihiin berkata," Jika dosa yang dilakukan itu ada kaitannya dengan sesama manusia, mak syaratnya ada empat, yakni tiga yang tersebut di atas (point 1-3 -pen) dan ditambah satu lagi, yaitu harus dapat membebaskan diri dari hak pemiliknya.
Jika memang hal itu berupa harta-benda atau yang lain, dia harus mengembalikan barang tersebut, tetapi bila hal itu berupa hukuman atu yang lain, dia harus menyerahkan diri atau minta maaf kepadanya. Jika hal itu berupa menggunjing orang lain, dia harus meminta keridhaannya."
Banyak orang mendefinisikan taubat dengan pengertian syarat-syarat taubat di atas. Padahal taubat menurut firman Allah‘Azza wa Jalla dan RasulNya di samping meliputi hal-hal di atas juga meliputi tekad dan kemauan untuk melaksanakan apa yang diperintahkanNya dan konsisten dengannya. Jadi, orang yang bertaubat bukan semata-mata meninggalkan perbuatan buruk, bertekad untuk tidak mengulangi, dan menyesal belaka. Tetapi ia juga harus bertekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah‘Azza wa Jalla dan RasulNya. Itulah hakikat taubat.
Jadi, hakikat taubat adalah kembali kepada Allah‘Azza wa Jalla dengan mengerjakan apa-apa yang dicintaiNya dan meninggalkan apa-apa yang dibenciNya atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai. Kembali kepada apa yang dicintai adalah bagian dari sebutan taubat, sedangkan meninggalkan apa yang dibenci merupakan bagian yang lain lagi. Oleh karena itu, Allah‘Azza wa Jalla mengaitkan keberuntungan dan kebahagiaan yang mutlak dengan melaksanakan perintah Allah‘Azza wa Jalla dan meninggalkan laranganNya, sebagaimana firmanNya, yang artinya:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." (QS: An-Nuur : 31).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang-orang yang beruntung. Dan seseorang tidak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan perintah Allah‘Azza wa Jalla dan menjauhi laranganNya. FirmanNya, yang artinya:
"Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim." (QS: Al-Hujuraat : 11).
Orang yang meninggalkan perintah Allah‘Azza wa Jalla dan mengerjakan laranganNya adalah orang yang zhalim. Untuk menghapus sebutan zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat yang menghimpun kedua hal tersebut.
Jadi memelihara hukum-hukum Allah‘Azza wa Jalla termasuk bagian dari taubat, bahkan taubat mencakup semua hal tersebut. Seseorang disebut sebagai orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah‘Azza wa Jalla dari laranganNya, kembali kepada keta'atan kepada Allah‘Azza wa Jalla dari kedurhakaan kepadaNya.
Dengan demikian, maka taubat adalah hakikat agama Islam, sedang agama itu seluruhnya masuk dalam sebutan taubat. Termasuk cakupannya adalah istilah Islam, Iman, Ihsan, dan semua derajatnya. Oleh karena itu, taubat merupakan puncak, permulaan, dan penutup urusan setiap mukmin.
Jika seorang hamba bisa memenuhi syarat taubat dan mencapai hakikat taubat, sudah pasti taubatnya diterima. Adapun tanda-tanda diterimanya taubat seorang hamba adalah:
Sesudah bertaubat, keadaan hamba itu lebih baik dari sebelumnya. Hatinya senantiasa takut disertai perasaan tidak aman terhadap balasan Allah. Hatinya merasa kapok dan tersayat karena penyesalan dan rasa takut.
Ada satu hal yang wajib kita ketahui berkaitan dengan pelaksanaan taubat, yaitu bahwa melakukan taubat dari dosa merupakan kewajiban yang harus segera dilakukan dan tidak boleh ditunda. Apabila seseorang menundanya berarti ia telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu, maka dia harus bertaubat lagi, yaitu bertaubat dari penundaan taubatnya. Yang seperti ini jarang disadari oleh orang-orang yang bertaubat. Biasanya, jika ia sudah bertaubat dari dosa tersebut, maka ia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya.
Tidak ada yang menyelamatkan hal ini kecuali dengan taubat yang bersifat umum, yaitu taubat daari dosa-dosa yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui hamba justru lebih banyak dair yang diketahuinya. Karena dia tidak mengetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, jika memang sebenarnya memungkinkan baginya untuk berusaha mengetahuinya. Dengan begitu, ia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak beramal, sehingga kedurhakaannya berlipat dan pelanggarannya lebih berat.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berdo'a, yang artinya:
"Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya, yang kecil dan yag besar, yang tidak sengaja dan yang sengaja, yang sembunyi-sembunyi dan yang terang-terangan, yang pertama dan yang terakhir." (HR: Muslim,1/350, no 483). Keumuman dan generalisasi ungkapan do'a ini ditegaskan agar mencakup taubat dari dosa-dosa yang diketahui dan yang tidak diketahui oleh hamba.
Setelah kita mengetahui bahwa hakikat taubat mencakup seluruh agama Islam dan bahwa pelaksanaan taubat merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh ditunda, maka marilah kita segera bertaubat dengan memenuhi seluruh syaratnya dan mencapai hakikat taubat tersebut.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah dan memohon ampunlah kalian kepada Allah‘Azza wa Jalla. Karena aku sendiri setiap hari bertaubat sebanyak seratus kali."
(HR Muslim dalam Shahihnya).
Lihatlah, Nabi yang dosanya telah diampuni oleh Allah‘Azza wa Jalla, baik yang akan datang maupun yang telah lalu saja, masih bertaubat sebanyak itu setiap hari, maka mengapa kita yang jelas-jelas lebih banyak dosanya daripada Nabi masih sombong untuk bertaubat ? Mari, bersegeralah menjadi hamba yang kembali kepada Tuhannya!
(Sumber Rujukan: Madaarijus-Saalikiin, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,)